Ketika memulai menulis catatan ini, saya tiba-tiba saja penasaran untuk membaca kembali catatan saya sebelumnya. Di tengah ketiadaan ide spesifik, paling mudah adalah meneruskan cerita kemarin, mengurai kembali bersesambung cita-cita, perjuangan, pengalaman, dan pembelajaran yang tak pernah mengenal istilah usai. Juga dalam keinsyafan kecil, bahwa makna yang ternarasi sampai hari ini tidak dapat dilepaskan dari sekumpulan panjang renungan-renungan tentang hari-hari semenjak itu. Hari-hari yang tanpa terasa hampir lima tahun berlalu.
Catatan saya yang dimuat dalam Sharing for Growing Together kurang lebih lima tahun silam, bercerita tentang simpulan-simpulan makna yang saya rasai selama membersamai Shariah Economics Forum (SEF) dan jejaringnya. Pada catatan tersebut, saya kisahkan SEF dengan begitu istimewa di hati. Sebab rasanya memang, sepanjang usia saya di Ilmu Ekonomi UGM (2005-2010) hampir sepenuhnya saya jalani bersama SEF, cita-citanya, juga semangatnya. Sebuah kebersamaan yang paling memberi warna; dalam segala pengalaman dan pembelajarannya, pada duka dan sukanya, di jatuh dan bangunnya, hingga menjadi salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup saya. Ada sepuluh hal yang saya simpulkan di sana dan menjadi kerangka kehidupan yang tersusun lengkap di SEF. Sampai pada akhirnya, masa-masa setelah tidak lagi terlibat di SEF adalah perjalanan untuk menemukan kesepuluhnya kembali, tentu dengan jalan cerita yang berbeda, ujian yang tak sama, juga debaran-debaran yang tak serupa.
Kali ini, melanjutkan catatan sebelumnya, saya ingin berbagi tentang perjalanan gagasan yang tersimpul ketika menjalani masa-masa pasca kampus. Di penghujung catatan sebelumnya, saya menutup dengan sebuah do’a agar dipilihkan tempat paling berkah; Q.S. Al Mu’minun: 29. Masih ingat? Hingga akhirnya pada suatu titik saya merasa untuk tahu, bahwa tempat paling berkah itu, bahwa sebaik-baik tempat itu; tidak selalu tempat yang paling kita inginkan dan cita-citakan, tidak selalu tempat paling nyaman dan berlimpah kemudahan.
#01: Memetakan Pilihan
Pada masa-masa awal pasca kampus, barang kali hal yang paling membuat galau adalah menentukan pilihan profesi atau ranah kontribusi. Tentu, menjemput jodoh juga membuat galau, tetapi untuk kali ini hal tersebut kita asumsikan ceteris paribus dahulu. Bukan berarti mengabaikan atau menomorsekiankan, hanya untuk menyederhanakan pembahasan. Hehe.
Bagi mereka yang telah menyusun petanya, menentukan arahnya, dan mempersiapkan jauh-jauh hari sebelum mengakhiri statusnya sebagai mahasiswa, tentu pilihan profesi atau ranah kontribusi (juga jodoh) tidak akan menjadi persoalan serius. Banyak teman-teman saya yang sesukses itu ceritanya. Sementara bagi seseorang seperti saya, yang terbiasa mengalir dalam menjalani hidup, menikmati segala ketidakpastiannya sebagai sesuatu yang silih berganti dihadapi, hingga kemudian enggan repot mempersiapkan ketika masih dianggap jauh; ada cerita menariknya sendiri. Dan memang, kecenderungan bagi seseorang yang tidak menyusun petanya adalah tanpa fokus, risiko terdekatnya adalah abai mempersiapkan, serta konsekuensi terbesarnya adalah keterbatasan. Tanpa fokus, berbagai hal akan mudah ditempuh, agaknya layak disebut tanpa prioritas, dan pada akhirnya bisa jadi tidak ada yang tuntas satu pun. Tiadanya persiapan dan konsekuensi keterbatasan sering kali meminta kita harus tetap memilih di saat tidak ada pilihan. Dan berulang lagi, semua peluang yang terbentang akan dicoba dan berharap yang terpilih nanti adalah pilihan paling tepat.
Bagaimanapun, dalam ketiadaan pilihan yang benar-benar mudah, kita tetap harus memilih dengan pertimbangan yang utuh. Bukan sebab pilihan itu yang terbaik, tetapi pilihan yang kita telah siap dengan risiko dan konsekuensinya. Hingga kita sampai pada pilihan yang tepat dan realistis untuk saat itu, serta kita yakin akan mampu mencintai pilihan tersebut sepenuhnya. Pertimbangan utama saat itu, pilihan profesi yang dekat dengan dunia akademis (relevan dengan Ilmu Ekonomi) dan penelitian. Beberapa lembaga yang saya lamar, antara lain: Karim Bussiness Consulting (KBC), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Perdagangan. Kalau tidak salah, hanya itu. AlhamduliLllah, salah satu di antaranya, yang disebut terakhir, berkenan menerima lamaran saya.
Setidaknya dari sini ada pelajaran; bahwa kecenderungan itu sejatinya dapat dibaca. Kecenderungan apapun. Tidak, saya tidak sedang berbicara tentang psikologi, ini hanya soal peluang dalam statistika paling dasar. Di antara sekian lembaga yang saya lamar, hampir kesemuanya ada di ranah birokrasi. Maka sesungguhnya, sejak awal saya seharusnya telah menyadari bahwa pilihan profesi saya ada di ranah birokrasi. Tidak di swasta, tidak di sektor ketiga, tidak pula di kampus.
#02: Belajar Menyelam
Hari-hari awal aktivitas saya di Kementerian Perdagangan saya jalani dengan lebih banyak diam dan menyimak, juga menebak-nebak. Saat itu saya berpikir untuk tidak bersegera mengambil simpulan, sebelum mengerti baik-baik apa yang terjadi di dalamnya. Saya mulai memasuki ruang-ruang di kementerian tersebut dengan kesadaran bahwa saya seorang yang belum mengerti, sehingga waktu-waktu yang dilalui sepenuhnya adalah waktu untuk belajar dan memahami segala sesuatu yang ada di sana. Tentu, dalam proses tersebut pun ada saja godaannya. Tak jarang, ada saatnya jiwa bergejolak dan emosi membuncah, tetapi kesadaran bahwa saya seorang yang masih belum paham, menahan diri saya agar diam terus menyimak. Di saat semacam itu, seolah-olah ada yang berbisik di dalam hati, “Tugasmu hanya mengamati.”
Salah satu perasaan berat yang pernah saya jalani adalah ketika ditempatkan tidak sesuai dengan profesi yang saya pilih. Saya yang memilih profesi sebagai seorang perencana, sempat lebih banyak diminta untuk mengurusi keuangan dan perlengkapan yang kesemuanya administratif. Betapa menjemukan! Apalagi ketika teman-teman yang lain diminta mengerjakan hal substantif, semisal menyusun bahan kajian kebijakan perdagangan dan perkembangannya, sedangkan saya berpusing dengan mencatat jumlah barang dan harga, serta kuitansi, memerika persediaan, juga mengurus berbagai jenis administrasi transaksi.
Pernah ada saatnya, setelah hampir enam bulan bekerja, ada godaan untuk menyerah dan memutar arah. Jujur, pernah ada pikiran untuk resign di usia pekerjaan yang masih terbilang muda. Sepertinya, ketika itu hanya ada dua simpulan yang harus saya terima tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Pertama, saya tidak cocok dengan pekerjaan yang harus saya kerjakan. Kedua, sepertinya saya tidak dapat berkontribusi lebih jauh melalui ranah ini.
Hingga ketika saya sudah hampir dekat, sangat dekat dengan simpulan tersebut, titik balik itu terjadi. Saya yang pada awalnya berusaha untuk tidak bersegera mengambil simpulan, akhirnya menentukan simpulan. Bukan menyetujui dua simpulan tersebut di atas, melainkan sebaliknya. Pertama, saya akan memperjuangkan profesi saya. Kedua, sepertinya ada banyak celah kontribusi di ranah ini yang barangkali belum terpikirkan oleh orang lain. Dan menjadi kesimpulan saya sampai sejauh ini, saya tidak akan pernah berpikir untuk keluar dari sini karena saya merasa tidak nyaman. Di sini tempat saya berjuang, di sini tempat saya berpikir.
Saya jadi ingat ketika pada akhirnya saya mengambil keputusan untuk memasuki Kementerian Perdagangan di awal Desember 2010. Ketika itu, saya pernah bertanya kepada beberapa sosok. Berulang kali saya bertanya, lebih dari sekali saya tanyakan pada orang yang sama, bahkan masih terus saya tanyakan setelah kurang lebih enam bulan saya bekerja di sana. “Apa yang bisa saya lakukan di sana (Kementerian Perdagangan) nanti?” Dan jawabnya tidak jauh-jauh, “Masuklah terlebih dahulu, itu salah satu rizqi yang Allah karuniakan pada Antum. Nantinya Antum akan tahu kenapa Antum harus di sana.”
Hari pertama berlalu, bulan pertama berlalu, tahun pertama berlalu, sampai dengan hari ini kurang lebih empat tahun berlalu sejak pertanyaan itu pertama kali hadir. Sampai pada suatu titik, di mana saya menyadari bahwa jawaban itu sebetulnya tidak dari mereka, tetapi dari diri saya sendiri. Ya, boleh jadi memang saya yang harus menjawabnya sendiri. Setelah menempuh hari-hari sejak pertama kali memasukinya, terlibat di dalamnya, berinteraksi dengan mereka yang juga di dalamnya, dan menyelami sepanjang malam-malam dalam renungan paling dalam. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menanyakannya lagi, bahkan merasa harus membagi jawaban itu pada yang lain, seluas-luasnya.
#03: Memetik Makna
Sejujurnya ada banyak kegagalan yang saya temui. Salah satu di antaranya adalah ketika saya gagal melalui semester pertama kuliah saya, sehingga menjadi pemantik kegagalan-kegagalan lainnya. Tetapi jauh setelah itu, saya menemukan jalan cerita yang menarik. Jalan cerita yang mengantarkan saya pada makna lebih dalam.
Bersyukur kepada Allah, juga berterimakasih khususnya kepada Pak Gita Irawan Wirjawan selaku Menteri Perdagangan waktu itu (2012), yang entah beliau tahu atau tidak, telah mengalokasikan beasiswa sekolah untuk saya walaupun saat itu baru genap setengah tahun berstatus sebagai PNS. AlhamduliLlaah, saya dapat diterima dan dibiayai untuk melanjutkan sekolah di Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Melalui proses yang agak unik, saya termasuk satu di antara empat orang yang tidak dipersiapkan untuk menempuh program tersebut. Mengapa saya sebut tidak dipersiapkan? Sebab hampir semua yang mendapat sekolah telah mengikuti kursus Bahasa Inggris sejak berbulan-bulan sebelumnya. Ketika itu, saya nekad mengikuti proses seleksi program double-degree, karena kebertepatan program tersebut yang tersedia saat itu. Saya sebut nekad, karena saya tahu bahwa saat itu kemampuan bahasa asing saya terbatas, hanya bermodal prinsip; siap tidak siap urusan nanti, yang penting maju dulu!
Di semester pertama, bersama dengan euforia kembali ke kampus dan meninggalkan keruwetan di kantor, teriring empat target yang dikejar bersamaan di semester tersebut. Dua target pertama tidak perlu saya sebut di sini, dua target sisanya adalah IELTS minimal 6,5 dan IPK 3,5. Di satu semester itu, saya berusaha mengejar semuanya. Dan benar akhirnya, kenekadan saya tidak semudah dongeng. Hingga sampai pada waktu yang ditentukan, saya mengakui bahwa tidak satu pun target saya capai! Saya pun belajar menerima konsekuensi dari keempatnya, sebagaimana kemungkinan terburuk yang telah terbayang sebelumnya. Namun dari situlah makna demi makna dimulai.
Ada cerita yang berbelok, dengan belokan yang tidak terduga tetapi mengantarkan pada jalan cerita yang jauh lebih menarik dan bernilai. Singkatnya, kegagalan saya mengikuti program double-degree memberi kesempatan saya untuk bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai negara melalui Simposium Internasional Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Bangkok, menyusuri Singapura-Kuala Lumpur-Melaka menyeksamai tatanan dan sejarahnya, mengunjungi dan membincang materi kepemimpinan di kampus-kampus sepanjang Indonesia melalui sejumlah Temu Wilayah, menuntaskan amanah di dalam negeri, memperbanyak waktu di kampus untuk berdialog dengan dosen senior dan dosen muda di kampus tersebut untuk belajar lebih dalam tentang motodologi riset, serta membersamai teman-teman seangkatan dalam melewati tesisnya.
Dua tahun berlalu, alhamduliLlaah, saya menyelesaikan sekolah di Universitas Indonesia tepat pada waktunya. Dan itu pun berarti, saya harus kembali ke kantor, mengambil sebuah peran strategis dan menghadapi tantangan-tantangannya. Seperti dahulu ketika pertama kali hadir di ruang-ruang ini, saya kembali menjadi seorang yang diam, menyimak, dan menebak-nebak. Di perjalanan ini, saya mulai banyak berbincang dengan sosok-sosok muda yang merasakan adanya masalah. Namun masih banyak di antara mereka yang berakhir dengan keluhan. Dan yang lainnya masih memilih diam. Ada yang bersikap keras, namun akhirnya terlepas. Ada yang bersikap lembut, namun tanpa sadar mulai terhanyut. Lalu, bagaimana dengan masalahnya?
Selama ini, kita menganggap masalahnya ada pada keadaan, sehingga penyelesaian masalah yang terusul tidak jauh-jauh dari mengubah keadaan. Sampai pada suatu titik, saya menemukan bahwa masalahnya ada pada sudut pandang yang membentuk cara berpikir. Keadaan yang terjadi, juga tindakan-tindakan yang dipilih, semuanya berawal dari sudut pandang. Maka keterlibatan kita di berbagai ranah pada akhirnya bukan untuk mengubah keadaan, tetapi mengubah cara pandang. Inilah yang harus menjadi titik tolak dalam dakwah. Ketika yang dihadapi sudah sedemikian rumitnya, saya benar-benar merasai bahwa dakwah harus dimulai dengan sikap paling sederhana, paling ringan. “Berilah maaf,” sebagaimana Allah ajarkan melalui Q.S. Al A’raaf: 19. Berilah maaf di sini termaknai luas; terimalah mereka apa adanya, maklumi kekurangan-kekurangan mereka, maafkanlah kesalahan-kesalahan mereka, jangan bebani mereka dengan yang tidak mereka sanggupi, jangan bicara pada mereka dengan yang mereka tidak mengeri. InsyaaLlaah, inilah yang akan menentukan sudut pandang dan mengarahkan cara berpikir.
#04: Memandang Ujung Jalan
Saya coba membandingkan gagasan-gagasan antara saat ini dengan masa-masa awal menempuh ranah profesi, lima tahun silam. Ada yang berubah? Tentu saja, tapi semoga tidak pada asasnya. Perubahan-perubahan sering kali menjadikan ingatan bahwa perjalanan yang dinamis memberikan berbagai cerita baru, pengalaman baru, cara pandang baru, semangat baru, juga kematangan baru. Kesemuanya itu menjadi bekal untuk menempuh kehidupan ke depan dalam jenjang yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, sepanjang perjalanan hidup kita diisi dengan peristiwa demi peristiwa. Seringkali sebagian besar dari kita memandang dan menyimpulkannya masing-masing, terpisah satu sama lain. Tetapi apabila kita mau memahami bahwa sejatinya peristiwa-peristiwa tersebut saling terhubung, maka kita akan menemukan sebuah peta besar dan ketelusurannya. Sebuah peta besar yang akan membentuk sudut padang kita menjadi semakin luas, melihat hari-hari kemarin sepenuhnya menjadi pembelajaran, menatap jalan ke depan menjadi lebih jelas dan terarah, juga menemukan makna-makna perjalanan yang tidak akan dijumpai hanya dengan menyimpulkan dari satu peristiwa dipahami. Steve Jobs menyebutnya dengan connecting the dots. Ketika titik demi titik terhubung, di sanalah narasi makna. Ia akan menjadi bekal berharga dalam menempuh perjalanan panjang perjuangan di manapun ranahnya.
Tetaplah menghubungkan titik-titik dan membaginya dalam narasi.. []
Depok, 27 April 2015;
Tulisan ini khusus dipersiapkan untuk buku Share to Grow yang disusun oleh alumni SEF JMME.