Narasi Makna: Ketika Titik Demi Titik Terhubung

Ketika memulai menulis catatan ini, saya tiba-tiba saja penasaran untuk membaca kembali catatan saya sebelumnya. Di tengah ketiadaan ide spesifik, paling mudah adalah meneruskan cerita kemarin, mengurai kembali bersesambung cita-cita, perjuangan, pengalaman, dan pembelajaran yang tak pernah mengenal istilah usai. Juga dalam keinsyafan kecil, bahwa makna yang ternarasi sampai hari ini tidak dapat dilepaskan dari sekumpulan panjang renungan-renungan tentang hari-hari semenjak itu. Hari-hari yang tanpa terasa hampir lima tahun berlalu.

Catatan saya yang dimuat dalam Sharing for Growing Together kurang lebih lima tahun silam, bercerita tentang simpulan-simpulan makna yang saya rasai selama membersamai Shariah Economics Forum (SEF) dan jejaringnya. Pada catatan tersebut, saya kisahkan SEF dengan begitu istimewa di hati. Sebab rasanya memang, sepanjang usia saya di Ilmu Ekonomi UGM (2005-2010) hampir sepenuhnya saya jalani bersama SEF, cita-citanya, juga semangatnya. Sebuah kebersamaan yang paling memberi warna; dalam segala pengalaman dan pembelajarannya, pada duka dan sukanya, di jatuh dan bangunnya, hingga menjadi salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup saya. Ada sepuluh hal yang saya simpulkan di sana dan menjadi kerangka kehidupan yang tersusun lengkap di SEF. Sampai pada akhirnya, masa-masa setelah tidak lagi terlibat di SEF adalah perjalanan untuk menemukan kesepuluhnya kembali, tentu dengan jalan cerita yang berbeda, ujian yang tak sama, juga debaran-debaran yang tak serupa.

Kali ini, melanjutkan catatan sebelumnya, saya ingin berbagi tentang perjalanan gagasan yang tersimpul ketika menjalani masa-masa pasca kampus. Di penghujung catatan sebelumnya, saya menutup dengan sebuah do’a agar dipilihkan tempat paling berkah; Q.S. Al Mu’minun: 29. Masih ingat? Hingga akhirnya pada suatu titik saya merasa untuk tahu, bahwa tempat paling berkah itu, bahwa sebaik-baik tempat itu; tidak selalu tempat yang paling kita inginkan dan cita-citakan, tidak selalu tempat paling nyaman dan berlimpah kemudahan.

#01: Memetakan Pilihan

Pada masa-masa awal pasca kampus, barang kali hal yang paling membuat galau adalah menentukan pilihan profesi atau ranah kontribusi. Tentu, menjemput jodoh juga membuat galau, tetapi untuk kali ini hal tersebut kita asumsikan ceteris paribus dahulu. Bukan berarti mengabaikan atau menomorsekiankan, hanya untuk menyederhanakan pembahasan. Hehe.

Bagi mereka yang telah menyusun petanya, menentukan arahnya, dan mempersiapkan jauh-jauh hari sebelum mengakhiri statusnya sebagai mahasiswa, tentu pilihan profesi atau ranah kontribusi (juga jodoh) tidak akan menjadi persoalan serius. Banyak teman-teman saya yang sesukses itu ceritanya. Sementara bagi seseorang seperti saya, yang terbiasa mengalir dalam menjalani hidup, menikmati segala ketidakpastiannya sebagai sesuatu yang silih berganti dihadapi, hingga kemudian enggan repot mempersiapkan ketika masih dianggap jauh; ada cerita menariknya sendiri. Dan memang, kecenderungan bagi seseorang yang tidak menyusun petanya adalah tanpa fokus, risiko terdekatnya adalah abai mempersiapkan, serta konsekuensi terbesarnya adalah keterbatasan. Tanpa fokus, berbagai hal akan mudah ditempuh, agaknya layak disebut tanpa prioritas, dan pada akhirnya bisa jadi tidak ada yang tuntas satu pun. Tiadanya persiapan dan konsekuensi keterbatasan sering kali meminta kita harus tetap memilih di saat tidak ada pilihan. Dan berulang lagi, semua peluang yang terbentang akan dicoba dan berharap yang terpilih nanti adalah pilihan paling tepat.

Bagaimanapun, dalam ketiadaan pilihan yang benar-benar mudah, kita tetap harus memilih dengan pertimbangan yang utuh. Bukan sebab pilihan itu yang terbaik, tetapi pilihan yang kita telah siap dengan risiko dan konsekuensinya. Hingga kita sampai pada pilihan yang tepat dan realistis untuk saat itu, serta kita yakin akan mampu mencintai pilihan tersebut sepenuhnya. Pertimbangan utama saat itu, pilihan profesi yang dekat dengan dunia akademis (relevan dengan Ilmu Ekonomi) dan penelitian. Beberapa lembaga yang saya lamar, antara lain: Karim Bussiness Consulting (KBC), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Perdagangan. Kalau tidak salah, hanya itu. AlhamduliLllah, salah satu di antaranya, yang disebut terakhir, berkenan menerima lamaran saya.

Setidaknya dari sini ada pelajaran; bahwa kecenderungan itu sejatinya dapat dibaca. Kecenderungan apapun. Tidak, saya tidak sedang berbicara tentang psikologi, ini hanya soal peluang dalam statistika paling dasar. Di antara sekian lembaga yang saya lamar, hampir kesemuanya ada di ranah birokrasi. Maka sesungguhnya, sejak awal saya seharusnya telah menyadari bahwa pilihan profesi saya ada di ranah birokrasi. Tidak di swasta, tidak di sektor ketiga, tidak pula di kampus.

#02: Belajar Menyelam

Hari-hari awal aktivitas saya di Kementerian Perdagangan saya jalani dengan lebih banyak diam dan menyimak, juga menebak-nebak. Saat itu saya berpikir untuk tidak bersegera mengambil simpulan, sebelum mengerti baik-baik apa yang terjadi di dalamnya. Saya mulai memasuki ruang-ruang di kementerian tersebut dengan kesadaran bahwa saya seorang yang belum mengerti, sehingga waktu-waktu yang dilalui sepenuhnya adalah waktu untuk belajar dan memahami segala sesuatu yang ada di sana. Tentu, dalam proses tersebut pun ada saja godaannya. Tak jarang, ada saatnya jiwa bergejolak dan emosi membuncah, tetapi kesadaran bahwa saya seorang yang masih belum paham, menahan diri saya agar diam terus menyimak. Di saat semacam itu, seolah-olah ada yang berbisik di dalam hati, “Tugasmu hanya mengamati.”

Salah satu perasaan berat yang pernah saya jalani adalah ketika ditempatkan tidak sesuai dengan profesi yang saya pilih. Saya yang memilih profesi sebagai seorang perencana, sempat lebih banyak diminta untuk mengurusi keuangan dan perlengkapan yang kesemuanya administratif. Betapa menjemukan! Apalagi ketika teman-teman yang lain diminta mengerjakan hal substantif, semisal menyusun bahan kajian kebijakan perdagangan dan perkembangannya, sedangkan saya berpusing dengan mencatat jumlah barang dan harga, serta kuitansi, memerika persediaan, juga mengurus berbagai jenis administrasi transaksi.

Pernah ada saatnya, setelah hampir enam bulan bekerja, ada godaan untuk menyerah dan memutar arah. Jujur, pernah ada pikiran untuk resign di usia pekerjaan yang masih terbilang muda. Sepertinya, ketika itu hanya ada dua simpulan yang harus saya terima tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Pertama, saya tidak cocok dengan pekerjaan yang harus saya kerjakan. Kedua, sepertinya saya tidak dapat berkontribusi lebih jauh melalui ranah ini.

Hingga ketika saya sudah hampir dekat, sangat dekat dengan simpulan tersebut, titik balik itu terjadi. Saya yang pada awalnya berusaha untuk tidak bersegera mengambil simpulan, akhirnya menentukan simpulan. Bukan menyetujui dua simpulan tersebut di atas, melainkan sebaliknya. Pertama, saya akan memperjuangkan profesi saya. Kedua, sepertinya ada banyak celah kontribusi di ranah ini yang barangkali belum terpikirkan oleh orang lain. Dan menjadi kesimpulan saya sampai sejauh ini, saya tidak akan pernah berpikir untuk keluar dari sini karena saya merasa tidak nyaman. Di sini tempat saya berjuang, di sini tempat saya berpikir.

Saya jadi ingat ketika pada akhirnya saya mengambil keputusan untuk memasuki Kementerian Perdagangan di awal Desember 2010. Ketika itu, saya pernah bertanya kepada beberapa sosok. Berulang kali saya bertanya, lebih dari sekali saya tanyakan pada orang yang sama, bahkan masih terus saya tanyakan setelah kurang lebih enam bulan saya bekerja di sana. “Apa yang bisa saya lakukan di sana (Kementerian Perdagangan) nanti?” Dan jawabnya tidak jauh-jauh, “Masuklah terlebih dahulu, itu salah satu rizqi yang Allah karuniakan pada Antum. Nantinya Antum akan tahu kenapa Antum harus di sana.”

Hari pertama berlalu, bulan pertama berlalu, tahun pertama berlalu, sampai dengan hari ini kurang lebih empat tahun berlalu sejak pertanyaan itu pertama kali hadir. Sampai pada suatu titik, di mana saya menyadari bahwa jawaban itu sebetulnya tidak dari mereka, tetapi dari diri saya sendiri. Ya, boleh jadi memang saya yang harus menjawabnya sendiri. Setelah menempuh hari-hari sejak pertama kali memasukinya, terlibat di dalamnya, berinteraksi dengan mereka yang juga di dalamnya, dan menyelami sepanjang malam-malam dalam renungan paling dalam. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menanyakannya lagi, bahkan merasa harus membagi jawaban itu pada yang lain, seluas-luasnya.

#03: Memetik Makna

Sejujurnya ada banyak kegagalan yang saya temui. Salah satu di antaranya adalah ketika saya gagal melalui semester pertama kuliah saya, sehingga menjadi pemantik kegagalan-kegagalan lainnya. Tetapi jauh setelah itu, saya menemukan jalan cerita yang menarik. Jalan cerita yang mengantarkan saya pada makna lebih dalam.

Bersyukur kepada Allah, juga berterimakasih khususnya kepada Pak Gita Irawan Wirjawan selaku Menteri Perdagangan waktu itu (2012), yang entah beliau tahu atau tidak, telah mengalokasikan beasiswa sekolah untuk saya walaupun saat itu baru genap setengah tahun berstatus sebagai PNS. AlhamduliLlaah, saya dapat diterima dan dibiayai untuk melanjutkan sekolah di Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Melalui proses yang agak unik, saya termasuk satu di antara empat orang yang tidak dipersiapkan untuk menempuh program tersebut. Mengapa saya sebut tidak dipersiapkan? Sebab hampir semua yang mendapat sekolah telah mengikuti kursus Bahasa Inggris sejak berbulan-bulan sebelumnya. Ketika itu, saya nekad mengikuti proses seleksi program double-degree, karena kebertepatan program tersebut yang tersedia saat itu. Saya sebut nekad, karena saya tahu bahwa saat itu kemampuan bahasa asing saya terbatas, hanya bermodal prinsip; siap tidak siap urusan nanti, yang penting maju dulu!

Di semester pertama, bersama dengan euforia kembali ke kampus dan meninggalkan keruwetan di kantor, teriring empat target yang dikejar bersamaan di semester tersebut. Dua target pertama tidak perlu saya sebut di sini, dua target sisanya adalah IELTS minimal 6,5 dan IPK 3,5. Di satu semester itu, saya berusaha mengejar semuanya. Dan benar akhirnya, kenekadan saya tidak semudah dongeng. Hingga sampai pada waktu yang ditentukan, saya mengakui bahwa tidak satu pun target saya capai! Saya pun belajar menerima konsekuensi dari keempatnya, sebagaimana kemungkinan terburuk yang telah terbayang sebelumnya. Namun dari situlah makna demi makna dimulai.

Ada cerita yang berbelok, dengan belokan yang tidak terduga tetapi mengantarkan pada jalan cerita yang jauh lebih menarik dan bernilai. Singkatnya, kegagalan saya mengikuti program double-degree memberi kesempatan saya untuk bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai negara melalui Simposium Internasional Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Bangkok, menyusuri Singapura-Kuala Lumpur-Melaka menyeksamai tatanan dan sejarahnya, mengunjungi dan membincang materi kepemimpinan di kampus-kampus sepanjang Indonesia melalui sejumlah Temu Wilayah, menuntaskan amanah di dalam negeri, memperbanyak waktu di kampus untuk berdialog dengan dosen senior dan dosen muda di kampus tersebut untuk belajar lebih dalam tentang motodologi riset, serta membersamai teman-teman seangkatan dalam melewati tesisnya.

Dua tahun berlalu, alhamduliLlaah, saya menyelesaikan sekolah di Universitas Indonesia tepat pada waktunya. Dan itu pun berarti, saya harus kembali ke kantor, mengambil sebuah peran strategis dan menghadapi tantangan-tantangannya. Seperti dahulu ketika pertama kali hadir di ruang-ruang ini, saya kembali menjadi seorang yang diam, menyimak, dan menebak-nebak. Di perjalanan ini, saya mulai banyak berbincang dengan sosok-sosok muda yang merasakan adanya masalah. Namun masih banyak di antara mereka yang berakhir dengan keluhan. Dan yang lainnya masih memilih diam. Ada yang bersikap keras, namun akhirnya terlepas. Ada yang bersikap lembut, namun tanpa sadar mulai terhanyut. Lalu, bagaimana dengan masalahnya?

Selama ini, kita menganggap masalahnya ada pada keadaan, sehingga penyelesaian masalah yang terusul tidak jauh-jauh dari mengubah keadaan. Sampai pada suatu titik, saya menemukan bahwa masalahnya ada pada sudut pandang yang membentuk cara berpikir. Keadaan yang terjadi, juga tindakan-tindakan yang dipilih, semuanya berawal dari sudut pandang. Maka keterlibatan kita di berbagai ranah pada akhirnya bukan untuk mengubah keadaan, tetapi mengubah cara pandang. Inilah yang harus menjadi titik tolak dalam dakwah. Ketika yang dihadapi sudah sedemikian rumitnya, saya benar-benar merasai bahwa dakwah harus dimulai dengan sikap paling sederhana, paling ringan. “Berilah maaf,” sebagaimana Allah ajarkan melalui Q.S. Al A’raaf: 19. Berilah maaf di sini termaknai luas; terimalah mereka apa adanya, maklumi kekurangan-kekurangan mereka, maafkanlah kesalahan-kesalahan mereka, jangan bebani mereka dengan yang tidak mereka sanggupi, jangan bicara pada mereka dengan yang mereka tidak mengeri. InsyaaLlaah, inilah yang akan menentukan sudut pandang dan mengarahkan cara berpikir.

#04: Memandang Ujung Jalan

Saya coba membandingkan gagasan-gagasan antara saat ini dengan masa-masa awal menempuh ranah profesi, lima tahun silam. Ada yang berubah? Tentu saja, tapi semoga tidak pada asasnya. Perubahan-perubahan sering kali menjadikan ingatan bahwa perjalanan yang dinamis memberikan berbagai cerita baru, pengalaman baru, cara pandang baru, semangat baru, juga kematangan baru. Kesemuanya itu menjadi bekal untuk menempuh kehidupan ke depan dalam jenjang yang lebih tinggi.

Pada akhirnya, sepanjang perjalanan hidup kita diisi dengan peristiwa demi peristiwa. Seringkali sebagian besar dari kita memandang dan menyimpulkannya masing-masing, terpisah satu sama lain. Tetapi apabila kita mau memahami bahwa sejatinya peristiwa-peristiwa tersebut saling terhubung, maka kita akan menemukan sebuah peta besar dan ketelusurannya. Sebuah peta besar yang akan membentuk sudut padang kita menjadi semakin luas, melihat hari-hari kemarin sepenuhnya menjadi pembelajaran, menatap jalan ke depan menjadi lebih jelas dan terarah, juga menemukan makna-makna perjalanan yang tidak akan dijumpai hanya dengan menyimpulkan dari satu peristiwa dipahami. Steve Jobs menyebutnya dengan connecting the dots. Ketika titik demi titik terhubung, di sanalah narasi makna. Ia akan menjadi bekal berharga dalam menempuh perjalanan panjang perjuangan di manapun ranahnya.

Tetaplah menghubungkan titik-titik dan membaginya dalam narasi.. []

Depok, 27 April 2015;

Tulisan ini khusus dipersiapkan untuk buku Share to Grow yang disusun oleh alumni SEF JMME.

Itsar; Puncak Tertinggi Ukhuwah

Sahabat sekalian, ukhuwah adalah hal terindah dalam kebersamaan kita dalam dakwah. Bersyukur kepada Allah atas kehadiran saudara di jalan Allah; yang salamnya kita rindu, nasihatnya kita tunggu, pun kita rasai do’anya tak pernah jemu. Lalu kita menjumpai seindah-indah ukhuwah, saat kita sampai di puncak tertingginya; itsar. Lebih dari sekedar ta’aruf, tafahum, juga takaful. Maka agar menjadi inspirasi, mari kita seksamai kisah tentang itsar dalam hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Madinah dan disambut orang-orang Anshar, yang terabadi dalam Q.S. Al Hasyr: 9-10.

Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang yang beruntung. (Q.S. Al Hasyr: 9)

Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam Lubabun Nuqul fi Ashabin Nuzul menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini lewat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Pada suatu saat RasuluLlah SAW kedatangan seorang tamu. Tamu itu menyatakan bahwa dia membutuhkan tempat menginap, makan malam, dan keperluan beberapa hari karena bekalnya sudah habis. RasuluLlah SAW bukanlah orang yang bisa menolak permintaan. Tetapi kalau kondisi beliau tidak memungkinkan untuk memenuhi permintaan seseorang, beliau akan menawarkan kepada para sahabat.

Maka ada seorang sahabat, Abu Thalhah, mengacungkan tangan, “Saya Yaa RasuluLlah.” Kemudian Abu Thalhah dipersilakanlah oleh RasuluLlah SAW untuk membawa tamu ini ke rumahnya. Selanjutnya AbuThalhah bermusyawarah dengan istrinya, Ummu Sulaim. Kata sang istri, “Kita tidak punya apa-apa. Hanya ada makanan, itupun hanya cukup untuk anak kita, satu porsi.” Kata Abu Thalhah, “Lakukan yang kuminta. Pura-puralah bahwa minyak kita habis sehingga lampu tidak dinyalakan untuk malam ini. Segera tidurkan anak-anak kita. Hidangkan makanan itu dalam sebuah piring untuk tamu kita dan hidangkan sebuah piring kosong untukku, akan kutemani dia makan.

Ketika tamu datang, kemudian Ummu Sulaim berpura-pura dan berkata, “Maaf, lampunya tidak bisa menyala, minyaknya sedang dicarikan.” Makanan disiapkan, tamu dijamu, sebuah piring kosong diletakkan di depan suaminya. Tamu itu makan dengan sangat lahap dan Abu Thalhah berpura-pura seolah-olah dia makan dengan mengerik piring kosong yang ada di hadapannya. Sampai selesai, tamu itu puas, tertidur lelap. Pagi harinya RasuluLlah SAW menemui Abu Thalhah dengan berseri-seri, kemudian berkata, “Allah SWT takjub kepada apa-apa yang kalian lakukan tadi malam.” Ayat tersebut turun.

…wa yu’tsiruuna ‘alaa anfusihim khashaashah.

Khashaashah, artinya hajat yang darurat, tidak mungkin tidak, kalau tidak dipenuhi bisa terjadi bahaya. Bahkan dalam kondisi yang membahayakan dirinya sendiri, mereka memilih untuk mendahulukan saudaranya. Inilah itsar; mendahulukan saudara kita di atas apa-apa yang kita hajatkan, meskipun kita sangat-sangat membutuhkannya. Itsar ini, menurut Imam Hasan Al Banna dalam salah satu risalahnya, adalah puncak ukhuwah.

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hasyr: 10)

Pada sisi yang lain, batas terendah dari ukhuwah adalah salamatush shadr; lapang dada terhadap saudara sendiri. Selamatnya dada kita dari ghil; perasaan tidak enak, perasaan tidak nyaman, bibit-bibit menuju buruk sangka, iri, dengki, hasad. Maka dalam lanjutan ayat tentang itsar tersebut terteladankan do’a.

…walaa taj’al fii quluubinaa ghillalliladziina aamanu.

Ukhuwah dalam setinggi-tinggi maknanya, bersama seindah-indah rasanya, bagaimanapun akan ada ujian-ujiannya. Mari berjuang untuk menghadirkannya dalam kebersamaan kita agar menjadi pengokoh dan romantika perjuangan di jalan dakwah ini; dalam ikhtiyar dan do’a. ;) []

Skripsi Sekali, Skripsi lah yang Berarti

Bagi sebagian besar mahasiswa, skripsi sering menjadi kekhawatiran menjelang akhir-akhir masa di kampus. Dan tak dapat dipungkiri, demikian pula dengan saya. Rasanya berbagai kekhawatiran bercampur aduk; berapa lama akan selesai, bagaimana menyakinkan dosen tentang ide dan judulnya, seberapa baik nanti jadinya, ada manfaatnya atau hanya untuk melengkapi persyaratan menjadi sarjana, dan sebagainya. Belum lagi jika ditambah kekhawatiran pada keadaan pasca kampus nantinya; apa yang akan dikerjakan, seperti apa pilihan profesi, berapa lama tanpa status –setelah status mahasiswa dicabut-, dan lain-lainnya. Bagaimanapun, yang ini pun tidak dapat diabaikan.

 

Alhamdulillah, bersyukur pada Allah, semangat untuk selalu menghadirkan kebermanfaatan menjadi kekuatan dan kejernihan tersendiri di tengah berbagai kekhawatiran tersebut. Saya meyakini, terselesaikannya berbagai rintangan, kerumitan, serta kejenuhan dalam proses penyusunan skripsi saya karena masih adanya semangat kebermanfaatan ini. Saya hanya berfikir dan bertanya sederhana; bagaimana agar skripsi yang saya susun dan proses menyusunnya setiap detiknya membawa kebermanfaatan. Sulit rasanya, ketika pada saat yang sama, teman-teman lain sedang berfikir bagaimana agar skripsinya tampak menakjubkan. Menampilkan teori-teori yang terbaru dan belum banyak orang tahu serta menggunakan variabel-variabel unik yang menjadikan persamaan kian menarik. Hingga ada rasa bangga –biasanya- ketika para penguji dapat berdecak kagum memerhatikan dan membahasnya. Kalau pun harus jujur, dahulu saya pun juga ingin yang demikian. Namun memerhatikan keadaan dan keterbatasan saya saat itu, saya memilih jika ada yang lebih sederhana. Fokus saya satu; bermanfaat!

Continue reading “Skripsi Sekali, Skripsi lah yang Berarti”

Do’a

Do’a, bukan sekedar pinta.

Do’a, ianya ungkapan cinta, bincang mesra, tetapan cita, pun komitmen kesungguhan atasnya.

Do’a, terkadang ia pemelihara cita, pengingat atas janji ikhtiyar sepenuh jiwa,

Do’a, sering ia penentram rasa, ketika ujian memberati dada.

Do’a, akan selalu bermula dalam keyakinan.

Tak cukup, ianya harus dilanjutkan dlm kesungguhan.

Sempurna, insyaaLlah, bertunai keberserahan.

Kata guru saya, Kalau punya target tulis saja dulu.

Rasanya akan beda kalau sudah ditulis.

___12 November 2012

Membangun Lembaga Ilmiah dan Penalaran di Kampus

Lembaga ilmiah dan penalaran telah menjadi ruang yang lapang bagi pengembangan kompetensi dan kredibilitas personal seorang mahasiswa. Berbagai aktivitas di dalamnya memiliki potensi untuk menyelaraskan ketercapaian keduanya secara bersamaan. Aktivitas penelitian dan diskusi yang menjadi program utama membiasakan mahasiswa dengan kerangka berfikir dan kultul ilmiah. Hal ini juga menjadi pemantik dan pendorong dalam meraih prestasi akademik di kampus. Aktivitas keorganisasian dengan berbagai permasalahan dan potensinya menjadi ruang pembinaan karakter, moral, dan jiwa kepemimpinan yang kokoh. Hal yang tidak cukup diperoleh dari pendidikan formal. Keselarasan ini yang mempu mendorong seorang mahasiswa menjadi inspirasi bagi siapapun.

Continue reading “Membangun Lembaga Ilmiah dan Penalaran di Kampus”

Dalam Keinsyafan bahwa Takdir Ini KehendakNya

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; di sana ada pinta, upaya, juga tanya.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; di sana ada do’a, ‘amal, juga istikharah.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; setelah segala daya upaya, tawakkal menjadi penghujungnya.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; pada tiap debaran dan guncangan, Allah selalu hadirkan ketentraman.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; kesabaran menjadi tak berbeda rasanya dengan kesyukuran, keduanya membahagiakan.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; kebaikan memenuhi segala ruang diri, dalam niat, prasangka, dan usaha.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; ada yakin Allah akan permudah kebaikan, juga palingkan yang tidak.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; seiring keinsyafan untuk selalu memperbaiki diri dalam apapun.

Dalam keinsyafan bahwa takdir itu kehendakNya; tiap ujian termaknai pintu meraih kemuliaan.

Jakarta-Jogja-Pati-Semarang; 22-24 Januari 2012

Jangan Mengeluh

AlhamduliLlah. Allah perkenankan saya menyadari kekurangdewasaan saya, dengan jalan yang indah. Pada setiap keluh yang pernah tersampai hingga oleh lisan saya, Allah tunjukkan jawaban sebentuk renungan mendalam buat diri dari sekian perbincangan dengan sosok-sosok yang inspiratif. Indahnya, renungan itu yang kemudian hadirkan penentram hati atas segala keluh.

Mengeluh. Seolah mengidentik pada kecenderungan hati yang ringkih. Atau ketidakmampuan menata dan mengelola setiap rasa terhadap takdir yang terkarunia. Mengeluh pun boleh jadi tersebab oleh melemahnya iman dan keyakinan pada pertolongan Allah. Dan keluhan itu, tentu saja akan membersamai mereka yang tidak mampu hadirkan syukur atas apa-apa yang terkaruniakan. Juga mengiringi mereka yang tidak sanggup hadirkan sabar atas apa-apa yang tercobakan. Padahal, orang beriman, terbekali padanya syukur dan sabar pada ketentuan Allah yang menjadikannya kebaikan. Setidaknya, itu yang pernah saya rasai. Dan, memang, mengeluh ini berkaitan dengan rasa.

Continue reading “Jangan Mengeluh”

Hari Ini Untukmu, Ibunda..

Berbincang dengan ibunda, senantiasa hadirkan sedalam renungan buat saya. Uniknya, kalau saya ingat perbincangan-perbincangan dengan beliau, sebagian besar terjadi dalam perjalanan. Ya. Sering kesempatan itu datang saat saya memboncengkan beliau, dalam perjalanan mengantar berbelanja, atau bersama menemani adik jalan-jalan, juga saat-saat lain yang serupa.

Hari ini, saat-saat akhir kesempatan saya banyak-banyak membersamai beliau sebelum pergi merantau, perbincangan pun terasa jauh lebih dalam dari biasanya. Ketika yang ternasihatkan, yang terrembug, dan terrencanakan, adalah tentang hari-hari di rantau nanti. Ada berontak ngeyel dalam celetuk dan sikap, hehe –semoga tak sampai menyebabkan murka Allah ya-, jika rasa-rasanya ibunda terlalu jauh mendikte diri. Ini dan itu, seolah kita tak pernah tahu. Ada sekerabat angkuh mungkin, saat terbisik dalam hati demikian, “Iyaa Buu, saya sudah tahu, masa begitu saja sampai dibilangin terus..” AstaghfiruLlaah, mudah-mudahan hanya menjadi sebab kenangan yang selalu terrindu nantinya –dalam indah-, bukan kerenggangan hubungan dan ketidakberbaktian yang memantik murka.

Saya tahu, ini hanya disebabkan oleh cinta. Cinta ibunda pada sang putra. Maka dalam nasihat dan perlakuan ibunda sejatinya tertumpuk harapan-harapan terbaik. Bukan yang terbiasa diprasangkakan; menyulitkan, merepotkan. Bukan juga sebuah pengekangan, atau kekhawatiran berlebihan, hanya dalam kalbu yang tak sanggup mendengar kesusahan sang putra. Dari seorang ibunda sahabat, saya pernah memahami maksud baik itu. Ketika sang putra, sahabat saya itu, menelpon ibundanya dari rantau, menceritakan kondisinya. Lalu indah penuh syukur jawaban ibundanya, “AlhamduliLlaah, ya syukur nek kowe ora nganti keliren neng kana Le..” Yang penting kamu tidak sampai kelaparan saja. Begitu.

Continue reading “Hari Ini Untukmu, Ibunda..”

Barangkali Itulah Pintu Pahala Bagiku

“Sayangku…” Khalifah membuka pembicaraan dengan santun. “Engkau tahu, aku telah diuji dengan urusan yang besar.” Sang istri perlahan memandang kejernihan air muka Khalifah. Pandangan keduanya pun bertemu dalam kejujuran. Sejenak keduanya terdiam. Naungan cahaya temaram melukiskan nuansa keindahan di seluruh sudut malam itu.

“Jika engkau ingin,” Khalifah melanjutkan kata-katanya. Suaranya semakin lembut meresap dalam hati. “Engkau bisa memilih bersamaku tanpa jaminan apapun. Atau jika engkau mau,” Masih Khalifah melanjutkan. Bersamaan dengan nuansa keharuan semakin menenggelamkan keduanya. “Engkau bisa meninggalkanku sedangkan keadaan dan urusanmu terserah padamu.” Mata kedua insan yang diuji Allah berkaca-kaca, tak sanggup menahan keharuan yang begitu hebat. Keharuan karena merasakan begitu besar cinta Allah untuk keduanya, dengan ujian ini.

“Aku ikhlas, menyerahkan pilihan ini sepenuhnya padamu Sayangku…” Sang istri terdiam sunyi, mendengar kata-kata sang suami meminta jawaban. Ada pilihan bagi sang istri di saat perasaan hati tak menentu. Bisa jadi dia memperoleh kemudahan hidup di dunia ketika memilih yang pertama. Dan itu tidak mengapa karena Khalifah telah mengizinkan. Namun, sang istri memilih jalan lain. Jalan yang akan dilewati dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, dan hanya akan dipilih oleh orang-orang tertentu saja. “Aku akan tetap tinggal bersamamu tanpa jaminan apapun. Barangkali itulah pintu pahala bagiku atau bisa membantumu…” Jawab sang istri shalihah Khalifah. Subhanallah, jawaban yang menguatkan Khalifah. Dia yakin bahwa tidak ada keimanan tanpa ujian. Tidak ada surga terindah tanpa ujian yang besar. Dan dia memilih menjalani ujian bersama sang suami. Hingga senyum sejuk kedua insan yang dicintai Allah ini menjadi penutup pembicaraan besar ini.

Begitulah, pilihan-pilihan itu hadir bagi sang istri, Fatimah, ketika Khalifah Umar ibn Abdul Aziz diuji dengan amanah yang besar. Semoga Allah menghadirkan sosok-sosok seperti Fatimah yang mengokohkan dan menguatkan dalam perjuangan ini. Sosok yang cerdas, sabar, dan sederhana. Sosok yang ketika ditanya, “Selama ini, kita telah menjalani cinta dengan kesyukuran yang melahirkan nikmatNya yang berlipat. Namun kini, siapkah engkau ketika yang Allah minta dalam perjalanan cinta kita adalah kesabaran?” Dia menjawab, “InsyaAllah Mas…”

————-
Ahad pagi, 22 Maret 2009
Terkenang kembali ketika masih berusaha memantapkan hati pada jalan yang telah dipilihkan. Urusanku adalah berjuang untuk sesempurna-sempurna taat, sebaik-baik akhlaq, dan sepenuh kesanggupan menunaikan amanah, tanpa syarat. Barangkali itulah pintu pahala bagiku…

Kerinduan yang Terjujur

Pada mulanya adalah kerinduan. Pada akhirnya adalah sejauh mana kita mempertahankan kerinduan itu tetap terjaga dalam jiwa. Inilah yang sering dirasa tidak mudah bagi sebagian besar kita. Begitu sering kerinduan hanya bertahan sementara waktu. Hanya ketika semangat memuncak tinggi. Namun kemudian menghilang di saat-saat futur, terjatuh, dan terlupa. Hingga ujungnya, sering kali penyesalan pun tumbuh mengiringi terlambatnya kesadaran. Saat mulai teringatkan, sementara waktu telah lewat jauh. Menyedihkannya, jika itu berulang kali terjadi, hingga kita ringan merasai penyesalan. Inilah pertanda jiwa yang rapuh dan sakit.

Sesungguhnya kerinduan merupakan ejawantah dari keyakinan. Kita pun tahu, keyakinan yang masih terselip ragu akan membawa kerinduan yang terkadang-kadang. Kadang ingat, kadang lupa. Maka menegaskan keyakinan menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar lagi untuk membangun kerinduan sepanjang perjalanan. Keyakinan yang tegas akan memupuk kerindungan untuk bertumbuh semakin besar dan berkembang semakin kokoh. Keyakinan itu mampu membangun pemikiran, kemudian mencipta kesadaran, akhirnya membuahkan akhlak yang menggerak. Dan keyakinan yang jujur senantiasa membuahkan amal yang benar dan bermanfaat. Amal yang menyempurna hingga menemukan muara kerinduannya.

Sejenak membaca diskusi dua shahabat pada masa itu, kita mengenang tentang kerinduan mereka. Keduanya memohonkan harapan masing-masing kepada Allah. Do’a shahabat yang pertama, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu kesyahidan. Tuntunlah aku di jalanMu sehingga aku bertemu denganMu. Do’a shahabat yang kedua pun tak kalah mengagumkan, “Ya Allah, jika kami berhadapan dengaan musuh esok hari, pertemukanlah aku dengan musuh yang paling kuat, paling ganas, dan paling berani, berilah aku kekuatan untuk membunuhnya dan aku terbunuh olehnya, kemudian aku mendapatkan syahadah dan memasuki surga.” Dan keduanya menyempurnakan kerinduannya, do’anya.

Belajarlah kita dari mereka, tentang kerinduan. Karena kerinduan mereka begitu kokoh disebabkan oleh kejujuran pada Allah. Dan di sepanjang perjalanan, kerinduan selalu melahirkan keindahan pada tiap masa. Saat-saat paling melelahkan, adalah saat-saat terindah ketika kerinduan itu dirasai. Nah, bagaimana dengan kerinduan kita? Apakah kita telah jujur kepada Allah tentang kerinduan kita? Masih ada waktu untuk menata kerinduan…

11 April 2010
Bertanya dalam hati, tentang kerinduan-kerinduan yang tumbuh dalam hati. Menata ulang hati, agar merasai kerinduan tertinggi.. Tersemangati oleh saudara-saudara di jalan cinta para pejuang, yang banyak mengajari saya tentang kerinduan… Kerinduan karena Allah..